Rumah (yang) Sakit

Author: Cipz Vanhouten / Label:

Banyak orang bilang, salah satu bisnis yang kini pasti menguntungkan adalah mendirikan rumah sakit. Pernyataan ini menggelikan, namun jika bila benar, menggiriskan.

Keuntungan dalam bisnis itu seperti memerah kebahagiaan dari derita/tangis orang lain: menampung uang dari darah atau nanah luka yang terbuka. Namun begitulah kenyataannya. Sakit dan penyakit tak ada musimnya, tak ada grafik menurunnya di negeri penuh gejolak ini. Bahkan di saat krisis-politik dan ekonomi-orang sakit tidak berkurang justru meningkat, baik yang fisis, terlebih psikis. Dan itu membuat pebisnis kesehatan kian bergairah. Kita mafhum, banyak berita mengabarkan, dalam situasi seperti itu, para pebisnis kesehatan masih “memainkan” bahkan “menciptakan” varian penyakit baru demi jenis obat baru.

Kita pun sama paham, bagaimana bisnis rumah sakit kini memiliki performa, iming-iming, atau gimmick yang tidak kalah keren ketimgang wisata pantai, restoran mewah, atau karaoke keluarga kelas premium. Rasa sakit, penderitaan, dijadikan motif untuk menguras lebih dalam kantong penderita, dengan tawaran-tawaran leisure yang kadang menggelikan. Lebih menggelikan para pelaku bisnis di negeri kita. Alih-alih meningkatkan pelayanan medisnya kepada publik, mereka mereaksi melimpahnya pasien lokal yang berobat keluar negeri, dengan mendirikan rumah-rumah sakit mewah berkelas internasional. Bisnis itu “dipindahkan” dari luar ke dalam. Esensi pelayanan termanipulasi fasilitas dan harga, dan diskriminasi pasien justru kian ditegakkan: “Hei orang miskin dan sakit, bukan bagianmu mendapat pelayanan baik ini”.

“Fait accompli” pasien
Kita sekali lagi mengerti, siapa paling diuntungkan dari kecenderungan ini. Dari semua aparat medis yang ada, tentu para birokrat kesehatan, terutama para dokter, yang mengais keuntungan terbesar. Bukan hanya tarif, harga obat, dan fasilitas yang disediakan. Sebagai sarjana dengan lima tahun waktu studi, para dokter mendapat imbalan luar biasa, berlipat-lipat dibanding kaum paramedis, misalnya, yang juga sekolah tiga hingga lima tahun.

Mungkin dalam tanggung jawab, dokter adalah pemeran utama. Namun, dalam praktik medis di rumah sakit, kaum paramedis inilah yang menggerakkan atau mengoperasikan mesin kesehatan. Berjaga menit ke menit, mengantisipasi situasi paling kritisdi detik awal, mengayomi pasien, termasuk diserapahi keluarganya. Namun, untuk kesejahteraan, mungkin tiap bulan ia mendapat gaji yang didapat dokter hanya dalam sehari.

Pasien? Ia adalah sebuah objek dari semua fait accompli. Ilustrasi kecil, saya meminta resep bisul kepada seorang dokter spesialis. Setelah saya cek harganya hampir Rp300.000. saya kembali dan bertanya, mengapa semahal itu? Dokter menukas, “Bapak tidak percaya saya?” saya ragu. Saya bertanya kepada dokter lain, yang memberi resep salep. Harganya Rp1.600. Dengan itu, dua hari kemudian bisul say lenyap.

Berapa banyak pasien yang ragu sepeti saya. Berapa nilai uang hasil diagnosis atau resep fait accompli itu. Ilustrasi ini lebih seru: satu kali saya operasi mengangkat tumor dipundak. Saya diperbolahkan pulang sesegera usai operasi, betapun saya minta diinapkan. Belum setengah perjalanan pulang, luka operasi terbuka dan darah mengalir. Saya kembali. Dan dilakukan operasi ulang. Ternyata, luka tetap terbuka dan darah tiada henti mengalir. Saya diinapkan dan diberi pilihan untuk operasi ketiga dengan kondisi: bius total. Sebuah kondisi yang bagi saya-pemiliki penyakit akut lainnya-hanya memiliki dua opsi (menurut dokter bedah yang menjdai kepala tim): hilang sadar total (maut) atau masuk ruang ICCU. Saya terpana: karena kesalahan operasi saya mesti berada pada sebuah dilema yang komikal: maut dan hampir maut.

“Dimana tanggung jawab Anda, dokter? Kondisi ini bukan saya yang membuatnya, tapi Anda. Saya harus menerima tanpa kecuali. Saya tanggung semua risiko. Termasuk, mati atau tidak, saya harus tetap bayar Anda,” saya protes. Mereka tak bisa menjawab, hanya bertukas pendek, “Semua terserah pada keputusan, Bapak.” Saya terdiam. Mereka pergi. Beberapa dokter lain saya hubungi, tak ada advis yang melegakan. Semua bimbang. Nalar saya bergesermenjadi mistis: menyerahkannasib pada yang memestikannya. Dan Dia menjawab. Operasi ketiga berlangsung 1,5 jam, terasa 1,5 detik buat saya. Saya langsung bangkit duduk dan berjalan, begitu usai dan sadar.keadaan yang konon tak bisa terjadi, biarpun efek bius hilang (seharusnya) beberapa jam kemudian.

Orang miskin
Terlampau banyak kasus semacam bisa ditulis. Dimana posisi pasien, dirugikan seberat apa pun-hingga nyawa-tak ada pilihan. Dalam diagnosis, dalam peraturan tiap rumah sakit yang berubah-ubah, dalam resep, dalam biaya, dna lainnya. Beruntung jika satu-dua pasien cukup kritis, ia bisa menemukan hak-haknya yang umumnya kabur. Bagi masyarakat awam, hanya pasrah menerima fait accompli. Inilah juga yang terjadi pada mereka yang sepatutnya mendapat asuransi atau jaminan kesehatan dari negara. Mereka harus dinyatakan benar-benar miskin untuk mendapat jaminan itu. Dan kebijakan baru menetapkan kemiskinan itu harus diumumkan di tiap kelurahan. Masalahnya bukan harga diri yang diobral oelh kebijakan negara, tetapi kategori “miskin” sebagai kriteria dasar.

Orang miskin tentu menbutuhkan kesehatan. Namun, tidak semua orang miskin. Beberapa orang miskin memilih harga diri ketimbang jaminan itu. Beberapa orang miskin tidak membutuhkan karana tidak percaya atau kecewa pada pelayanan medis yang ada. Ada pula orang “tidak miskin” tetapi amat membutuhkan jaminan itu, demi pelaksanaan tanggung jawab keluarga, sosial; demia aktualisasi dan produktivitasnya. Inilah golongan yang tidak dijamin siapa pun. Tidak oleh akses pegawai negeri, tidak oleh akses perusahaan, juga tidak akses perusahaan asuransi. Mereka adalah pekerja profesional dan bebas yang tidak terikat apapun. Seperti pekerja kreatif, atau seniman. Dibilang kaya tidak, miskin bukan. Seorang penyair Medan memilih mati ketimbang harus menjalani cuci darah yang tak tertanggung olehnya.

Kasus seperti ini menjadi obligasi sosial kita, dan negara sebagai penanggung jawab utama. (Jaminan) Kesehatan harus diberikan kepada siapa pun yang membutuhkan, terlebih karena itu menjadi jaminan produktivitas serta kontribusinya kepada masyarakat. Dana jaminan dari rakyat harus dikembalikan sesuai situasi dan proporsi. Kasus mesti dihentikan. Bahkan setiap kebutuhan, setiap pasien harus diperlakukan sebagai unikum, sebagai kasus. Karena setiap penyakit pada akhirnya menyangkut sang korban, yang notabene seorang masnusia, yang pada dasarnya unik, tersendiri. Negara mestinya paham, bahaya bila manusia hanya ditempatkan sebagai konstanta. Apalagi dipasrahkan kepada logika bisnis rumah sakit diatas. Bisa-bisa negeri inilah rumah (yang) sakit itu.

(Sumber: RADHAR PANCA DAHANA; Sastrawan, Kompas 14 Maret 2009)

0 komentar:

Posting Komentar